Apakah Pembelajaran IPS di Sekolah Dimulai Dari Hal-hal yang dekat dengan Kehidupan Siswa?

Apakah Pembelajaran IPS di Sekolah Dimulai Dari Hal-hal yang dekat dengan Kehidupan Siswa?
Oleh Dhitta Puti Sarasvati

http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/15/apakah-pembelajaran-ips-di-sekolah-dimulai-dari-hal-hal-yang-dekat-dengan-kehidupan-siswa/

Lebaran ini, om saya berkunjung ke rumah. Ia bercerita bahwa ia kini aktif di di Komite Sekolah putrinya. “Rajin sekali,” kataku.

“Mau bagaimana lagi,” katanya, “Bulliying di sekolah tersebut sangat parah. Yah saya pikir para orang tua harus ikut berperang mengurangi itu.”

Saya merupakan alumni sekolah tersebut dan saya tahu betapa parahnya kasus bullying dan tawuran di sana. Sebagai seorang murid, saat itu, saya tidak tahu bahwa kasus-kasus tersebut sangat parah baru setelah saya lulus dan terutama mempelajari dunia pendidikan saya menyadari bahwa apa yang terjadi di sekolah saya dulu bukanlah hal yang wajar.

Saat saya baru masuk SMU, seorang kakak kelas saya meninggal karena tertusuk saat ada tawuran. Kakak kelas saya merupakan siswa baik-baik. Saat ada tawuran, ia terjebak di dalamnya karena tidak tahu harus bertindak apa, sedangkan siswa-siswa yang ‘bandelnya’ sudah lebih sigap dan cekatan dalam menghadapi tawuran. Ia menjadi korban. Ibunya datang ke sekolah untuk menasihati para siswa agar tidak terpancing amarah atas kematian putranya terutama dalam bentuk serangan ke sekolah lain karena tidak akan memperbaiki suasana.
Saya juga sudah biasa melihat darah menetes keluar dari kepala karena teman saya terkena lemparan baru. Bukan hal baru. Wajar saja.

Obrolan saya dengan om saya sampai pada pembahasan pendidikan IPS di sekolah. Saya sendiri dulu paling malas belajar IPS. Saya hampir tidak pernah belajar Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan bahkan PPKN dengan baik. Saya termasuk anak yang terkena doktrinasi bahwa segala yang sifatnya ke-IPA-an atau ke-Matematika-an lebih baik. Tentu saja, seiiring dengan waktu, dan berkat pembelajaran mengenai ilmu pendidikan saya belajar bahwa asumsi ini salah. Matematika dan IPA bukanlah segalanya. Ilmu-ilmu sosial, seni dan humaniora justru salah satu aspek penting dalam pendidikan apalagi kalau kita mengaitkan ilmu-ilmu sosial tersebut dengan fenomena di sekitar kita.

Saya jadi teringat kunjungan saya ke WaldorfSchool. Seperti halnya, Piaget dan Montesori, Steiner, pendiri Waldorf School percaya bahwa anak memiliki tahapan-tahapan perkembangan tertentu. Anak-anak remaja misalnya, dipercaya berada dalam fase-fase yang cukup ”rebelious” tetapi keinginan untuk “rebel” tidak selalu dapat tersalurkan dengan baik. “Saat anak-anak remaja, itulah saat yang tepat untuk mempelajari revolusi-revolusi di seluruh dunia, ” kata seorang guru di Waldorf School pada saya.

Pelajaran IPS seharusnya bisa menjadi pelajaran yang bagus untuk berefleksi mengenai apa yang terjadi di sekitar. Bagi seorang siswa, ada banyak fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya, termasuk diantaranya peristiwa seperti bullying dan tawuran. Bagaimana caranya agar pelajaran IPS yang ada di sekolah mampu dihubungkan dengan berbagai peristiwa ini? Bagaimana siswa bisa diajak untuk kritis melihat fenomena-fenomena ini ? Bagaimana caranya agar pelajaran-pelajaran IPS bisa membuat siswa mampu berefleksi terhadap apa yang terjadi disekitarnya sehingga akhirnya mampu memilih sikap terbaik yang perlu diambilnya? Adakah yang salah dengan pendidikan IPS di Indonesia ? Kenapa fenomena-fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita, jarang sekali dijadikan bahasan dalam pelajara-pelajaran IPS dimana bisa ada diskusi-diskusi yang hidup di dalam kelas? Kenapa teori-teori yang dipelajari dalam berbagai pelajar IPS tidak dikaitkan langsung dengan fenomena yang dekat dengan siswa sehingga akhirnya mampu menyentuh hati siswa? Apakah hal-hal seperti bullying, tawuran, dan sebagainya terkait dengan pembelajaran IPS yang sangat formalistis yang terjadi di sekolah?

Begitu banyak pertanyaan yang timbul di kepala saya. Saya belum bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan tersebut, apalagi saya memang bukan guru IPS. Meskipun begitu saya teringat bahwa pelajaran IPS yang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia sifatnya sangat formalistik, setidaknya yang saya pelajari di sekolah dulu. Saya tidak bisa merelasikan apa yang saya pelajari di pelajaran IPS dengan apa yang terjadi di sekitar saya, di masyarakat.
Saya jadi teringat sebuah yang diambil dari sebuah cerpen karya Jhumpa Lahiri berjudul When Mr. Pirzada Came To Dine. Di dalam cerita tersebut ada cuplikan mengenai seorang siswi bernama Lilia yang sedang belajar di Amerika Serikat. Lilia ini merupakan imigran dari India. Di dalam cerita tersebut digambarkan bahwa ia bisa dikatakan cukup ‘buta’ dengan apa yang terjadi di negara asalnya padahal saat itu India dan Bangladesh baru saja berpisah. Ayahnya sampai bertanya pada Lilia, “Apa yang kamu pelajari di sekolah? Apa yang kamu pelajari tentang dunia?” Lengkapnya cuplikan dalam tulisan tersebut sebagai berikut :

My father rapped his knuckles on top of my head. “You are aware of the current situation Aware of East Pakistan’s fight for soveignty”

I noded, unaware of the situation.

We returned to the kitchen, where my mother was draining a pot of boiled rice into colander. My father opened up the can on the counter and eyed me sharply over the frames of his glasses as he ate some more cashews . “What exactly do you study at school? Do you study history? Geography?”

“Lilia has plenty to learn at school,” my mother said. “We live here now, she was born here.” She seemed genuinely proud of the fact, as if it were reflection of my character. In her estimation, I knew, I was assured a safe life, an easy life, a fine education, every opportunity. I would never have to eat rationed food, or obey curfews, or watch riots from my roof-top, or hide neighbours in water tanks to prevent them from being shot, as she and my father had. “Imagine having hto place her in a decent school. Imagine her having to rad during power failures by the light of kerosene laos. Imagine the pressures, the tutors, the constant exams.” She ran her hand through her hair, bobbed to a suitable length for her part-time job as a bank teller. “How can you possibly expect her to know about Partition Put those nuts away.”

“But what does she learn about the world?” My father rattled the cashew can in his hand. “What is she learning?”

We learned amerian history, of course, and American geography. That year, and every year, it seemed, we began by studying the Revolutionary War. We were taken in school buses on field trips to visit Plymouth Rock, and to walk the Freedom Trail,and to climb to the top of the Bunker Hill Monument. We made dioramas out of coloured construction paper depiciting George washington crossing the choppy waters of the Delaware Rive, and we made pupets of King George wearing white tights and a black bow in his hair. During tests we were given blank maps of thirteen colonies, and asked to fill in names, dates capitals. I could do it with my eyes closed. (Lahiri, 2000, h.26-27)


Lilia buta terhadap fenomena sosial negara tempat kelahiran kedua orang tuanya. Tetapi ia merupakan seorang imigran yang sedang belajar di negara lain. Pelajaran IPS yang ia pelajari di sekolahnya seakan-akan tidak terkait dengan apa yang dialami di negaranya. Ia tidak tahu tentang pemisahan India dan Bangladesh. Ia tahu sedikit sekali tentang negaranya, tentang masyarakatnya, tentang lingkungannya, dan juga kehidupan sosialnya. Pembicaraan di atas, membuatnya ingin tahu lebih banyak mengenai negara asalnya. Saat ia mendapatkan tugas untuk mencari bahan-bahan di perpustakaan untuk memenuhi tugas sejarahnya ia mulai membuka buku tentang India. Sayangnya sang guru, tidak peka terhadap rasa ingin tahunya. Tugasnya tidak menyangkut pembelajaran mengenai India. “Tidak ada gunanya kamu membuka buku tersebut sekarag,” kata gurunya. Gurunya tidak tahu, bahwa rasa ingin tahunya terjadi karena apa yang ingin dipelajarinya kini sangat dekat di hati Lilia. Hal tersebut dibambarkan oleh Lahiri sebagai berikut :

No one at school talked about the war followed so faithfully in my living room. We continued to study the American Revoltion, and learned about injustices of taxation witout representation, and memorized passages from the Declaration of Independence. During recesss the boys would devide into groups, chasing each other wildly around the swings and seesaws, Redcoats against the colonies. In the classroom our teacher, Mrs. Kenyon, pointed frequently to a map that emerged like a movie screen from the top of the chalkboard, charting the route of the Mayflower, showing us the location of the Liberty Bell. Each week two members of the class gave a report on a particullar aspect of the Revolution, and so one day I was sent to the school library with my friend Dora to learn about the surrender at Yorktown. Mrs. Kenyon handed us a slip of paper with the names of three books to look up in the card catalogue. We found them right away, and sat down at a low round table to read and take notes. But I could not concentrate. I returned to the blond-wood shelves, to a section I had noticed labeled “Asia.” I saw books about China, India, Indonesia, Korea. Eventually I found a book titled Pakistan: A Land and Its People. I sat on a footstool and opened the book. The laminated jacket crackled in my grip. I began turning the pages, filled with photos of rivers and rice fields and men in military uniforms. There was a chapter about dacca, and I began to read about its rainfall, and its jute production. I was studying a population chart when Dora appeared in the aisle.

“What are you doing back here? Mrs. Kenyon’s in the library. She came to check upon us.”

I slamed the book shut, too loudly. Mrs. Kenyon emerged, the aroma of her parfume filling up the tiny aisle, and lifted the book by the tip of its spine as if it were a hair clinging to my sweater. She glanced at the cover, then at me.

“Is this book a part of your report, Lilia?”

“No, Mrs. Kenyon.”

“Then I see no reason to consult it,” she said, replacing it in the slim gap on the shelf. “Do you”

(Lahiri, 2000, h.32-33)


Narasi di atas menyentuh hati saya. Ntah apa rasanya bila saya menjadi Lilia. Sesuatu sedang terjadi di negaranya. Perang saudara katanya. Setiap malam keluarganya dan seorang tamu, Bengali selalu membahasnya. Tapi apa yang dipelajari di sekolahnya jauh sekali dari ketertarikannya. Salah satu teori pembelajaran yang sangat berpengaruh pada saya hingga saat ini adalah bahwa hal terpenting adalah memulai pembelajaran dengan hal-hal yang dekat di hati siswa. Ini akan menanamkan kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan dan belajar. Saat siswa sudah mulai mencintai belajar, ia dengan mudahnya akan belajar apapun. Ia akan menjadi pembelajar sejati. Apakah pembelajaran IPS di Indonesia sudah dimulai dari hal-hal yang dekat dengan kehidupan siswa? Mari kita bahas bersama-sama.

Sumber: Lahiri, Jhumpa. (2000) When Mr. Pirzada Came To Dine, in Interpreter of Maladies.London : Flaminggo

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Memahami Pembelajaran Terintegrasi (Bagian 1) : Definisi & Manfaat Pembelajaran Terintegrasi

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)