Perbincangan Mengenai Hubungan Sastra dan Seni dalam Pembelajaran Matematika dan Sains

Perbincangan Mengenai Hubungan Sastra dan Seni dalam Pembelajaran Matematika dan Sains
Oleh Dhitta Puti Sarasvati

Semalam saya membantu sahabat saya googling mengenai short courseuntuk guru di luar negeri. Sebenarnya saya tidak tahu banyak. tetapi saya membantu memberi kata kunci saja.

Entah bagaimana ceritanya, saya akhirnya bercerita mengenai perbincangan saya dengan Pak Iwan Syahril , dosen Sampoerna School of Education (SSE), hampir setahun yang lalu. Pak Iwan bercerita bahwa di Columbia University, New York, ada course yang menghubungkan antara sastra, sains, dan matematika. Termasuk bagaimana karya sastra bisa membuat anak tertarik belajar sains dan matematika.

“Course yang menarik!” kata sahabat saya sambil meneruskan kegiatan ber-googling short course.

Sahabat saya yang sedang googling kebetulan adalah seorang guru di sebuah sekolah swasta. Sebelum tahun ajaran baru yang lalu, dia yang bertugas memilih buku-buku resources baru untuk ditaruh di perpustakaan sekolah. Dia menunjukkan kepada saya beberapa buku cerita (terjemahan) dengan ilustrasi bergambar karya penulis Korea Selatan. Salah satunya adalah mengenai bajak laut yang terdampar di sebuah pulau. Mereka harus berbagi untuk bertahan hidup. Meskipun buku dikemas dalam bentuk sastra anak, saat membacanya anak bisa belajar mengenai pecahan. Ada buku yang lain yang serupa, yang isinya adalah mengenai place value.

“Kualitas buku ini bagus sekali, sayang harganya cukup mahal,” kata sahabat saya, “Jadi tidak bisa diakses semua orang. Memang buku semacam ini masih terbatas di Indonesia.”

Salah satu hal yang juga masih kurang di Indonesia adalah tersedianya buku-buku teachers guide. Bukan buku pelajaran tetapi lebih ke buku panduan untuk guru. Saya hampir selalu membaca resource semacam teachers guideyang berbahasa Inggris. Kadang saya dapatkan saat mengunjungi perpustakaan SSE. Jarang sekali saya menemukan buku panduan untuk guru yang menggunakan bahasa Indonesia.

Suatu hari, saat saya sedang mengunjungi perpustakaan SSE bersama Ibu Nina Feyruzi, saya terpana pada sebuah buku panduan untuk guru di bidang matematika berukuran kira-kira 60 × 40 cm, dengan tebal sekitar 4 cm. Bukunya lengkap sekali dan berwarna-warni. Isinya berbagai contoh kegiatan untuk segala jenis materi matematika. Mulai dari pengukuran, desimal, persentase, pecahan, bentuk, penjumlahan, perkalian, dan lain-lain. Ada begitu banyak contoh kegiatan yang bisa dilakukan, termasuk contoh lesson plan. Yang menarik, di setiap bab, misalnya bab mengenai penjumlahan atau bab mengenai pengukuran, ada review mengenai satu karya sastra yang bisa mendukung pembelajaran. Yang saya ingat, saat belajar mengenai bentuk dan ruang, ditampilkanlah karya sastra mengenai bangsa mesir dan piramida. Buku karya Laura Inggalls Wilder juga merupakan karya sastra yang direkomendasikan untuk belajar matematika (sayangnya saya lupa dari sisi mananya).

Yang jelas, di beberapa belahan dunia lainnya, pembelajaran matematika tidak pernah lupa dikaitkan dengan bidang lain, termasuk sastra (dan juga seni). Selain itu, sastra dianggap sebuah hal yang sangat penting dalam pendidikan. Saat saya blogwalking di berbagai website guru mancanegara, saya sering menemukan mereka meminta siswa-siswa mereka mempresentasikan pemahaman mereka dalam berbagai karya seperti puisi, role play, drama, komik, dan sebagainya.

Saat saya mengujungi Sekolah Waldorf (Rudolf Steiner), sastra digunakan untuk membuat anak merasa tersentuh hatinya dengan apa yang ingin dipelajari. Misalnya, sebelum anak belajar mengenai apel (dalam pelajaran sains), mereka akan mendengarkan dongeng mengenai apel, membuat puisi mengenai apel, dan menggambar apel. Kegiatan-kegiatan dilakukan sampai anak-anak merasa memiliki ketertarikan dengan apel. Baru mereka akan melakukan percobaan-percobaan sains terkait apel.

Kami, saya dan sahabat saya, akhirnya melanjutkan perbincangan mengenai bagaimana karya sastra dan seni memperkaya imajinasi. Menganaktirikan sastra dan seni pada pembelajaran yang ada di sekolah sangat merugikan perkembangan siswa.

Sahabat saya berkata, “Di sini, sastra dan seni sering dianggap tidak penting. Saya punya teman, jurusan sains. Saat studi di luar negeri untuk kuliah S3 dan harus membuat disertasi, idenya mandeg terus. Mungkin karena orangnya sangat logis, tetapi tidak terbiasa berimajinasi. Akhirnya, dosen pembimbingnya berkata, ‘Kamu tidak bisa begini terus. Sementara disertasinya dihentikan dulu. Silakan baca karya-karya sastra terlebih dahulu!’”

Sahabat saya pun bercerita, setelah membaca berbagai karya sastra, temannya lebih mudah menuliskan disertasinya.

Sastra dan seni memang memperkaya jiwa dan membantu manusi untuk hidup lebih manusiawi. Tidak bisa dipungkiri bahwa sastra dan seni memang melembutkan jiwa. Dan yang perlu mempelajarinya bukan hanya yang belajar di jurusan seni tetapi juga yang mendalami bidang sains dan matematika.

Setiap bidang pasti terkait dengan bidang yang lain. Suatu peradaban berkembang saat segala aspek kehidupan manusia berkembang. Termasuk dengan adanya perkembangan di berbagai bidang, seperti sains, sastra, seni, matematika, dan berbagai iImu humaniora lainnya. Sudah saatnya Indonesia mulai memikirkan mengenai bagaimana pendidikan dapat digunakan untuk mengembangkan peradaban umat manusia, khususnya bangsa Indonesia. Kalau ada sekolah yang menganaktirikan bidang-bidang tertentu seperti seni dan sastra, rasanya sudah waktunya untuk dihentikan.

Di dunia pendidikan kita juga harus mulai memikirkan untuk memperkaya siswa dari berbagai aspek. Ada berbagai kisah di mana di sekolah anak-anak yang mengambil jurusan IPA hanya difokuskan untuk belajar menghitung dan IPA saja. Seperti menggunakan kacamata kuda. Padahal untuk menjadi ilmuwan yang kreatif dan inovatif, siswa juga harus mempunyai wawasan yang luas dan pengalaman yang kaya di berbagai bidang. Seorang ilmuwan juga seorang manusia, dan karyanya pun seharusnya bisa berperan untuk kemanusiaan. Bagaimana caranya menjadikan seorang ilmuwan juga lebih peka terhadap kemanusiaan? Pembelajaran seni dan sastra salah satu kuncinya. Seorang ilmuwan sekaliber Einstein pun, terkenal karena sangat humanis. Ia merupakan pemain biola yang handal. Seumur hidupnya yang ia pelajari bukan hanya fisika dan matematika saja, tetapi juga musik, seni, filsafat, dan sastra.


Beberapa negara lain sudah mulai memikirkan bagaimana mengolaborasikan seni dan sastra dengan bidang seperti matematika dan sains di dunia pendidikan mereka. Bagaimana dengan dunia pendidikan di Indonesia?

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Memahami Pembelajaran Terintegrasi (Bagian 1) : Definisi & Manfaat Pembelajaran Terintegrasi

Mengenal Enam Prinsip-prinsip Dasar Pengajaran Matematika di Sekolah NCTM (2000)