Guru dan Demonstrasi



Di Chicago (10/09/2012) sedang ada boikot guru besar-besaran. Ribuan guru bergabung dalam demonstrasi ini. 


Saat guru melakukan boikot/berdemonstrasi, biasanya selalu ada pihak-pihak yang tidak setuju. Boikot/demonstrasi guru dianggap merugikan siswa karena proses pembelajaran menjadi terhenti. Saya termasuk pihak yang tidak sepenuhnya setuju dengan anggapan ini. Banyak kebijakan-kebijakan  lain yang sebenarnya sangat merugikan siswa. Kebijakan-kebijakan ini diterapkan setiap hari sangat merugikan siswa. Kebijakan semacam ini perlu dilawan, salah satu caranya adalah dengan melakukan boikot/demonstrasi.  


Tentu saja alasan guru melakukan boikot/demonstrasi harus masuk akal. Apa yang dituntut oleh guru memang harus mendukung proses pendidikan. Bagi seorang guru, yang paling penting adalah proses pembelajaran terjadi dengan baik. Selain itu kepentingan siswa untuk memperoleh pendidikan berkualitas harus diutamakan lebih dari kepentingan apapun. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Amisha Patel, direktur Grassroots Collaborative, salah seorang yang ikut dalam Demonstrasi di Chicago.


“I’m talking about the disruption of ... not having libraries in their sch
ools.…When Chicago Public Schools (CPS) closes their schools instead of investing in the schools, that’s what’s disruptive to students. And when CPS forces students in classrooms with 35 or 40 other children, that’s what’s long-term disruptive for our children.”
 
Saya berbicara tentang keusakan dari... tidak adanya perpustakaan di sekolah... Ketika  Chicago Public Schools (CPS) memilih untuk menutup sekolah-sekolah publik dan bukannya melakukan invesrigasi mengenai kenapa sekolah tersebut bermasalah. Ketika  CPS memaksakan 35 atau 40 siswa di dalam satu kelas, itu yang menyebabkan kerusakan jangka panjang bagi anak-anak kita. 
 Guru-guru di Chicago, didukung oleh orang tua menuntut beberapa hal yang dianggap esensial untuk keberlangsungan pendidikan yang berkualitas bagi siswa diantaranya  bisa dilihat dari hasil wawancara di acara 'Democracy Now' :


We're striking for a lot of reasons. If you just see what's in the mainstream media all they talk about is that teachers want more money. But that's really far from the truth. We're fighting for reasonable class sizes, we're fighting for wrap around services for our students. I teach in a school with a thousand students, we don't even have one social worker in that building for most of those kids. So we're fighting for the education our students deserve in Chicago. We're fighting aginst reforms that we see from the classroom level are not going to work. (Phil Cantor, Guru North Grand High School)
Kami melakukan  boikot karena berbagai alasan. Kalau anda melihat media mainstream, mereka sibuk membicarakan bahwa guru ingin memperoleh lebih banyak uang. Sebenarnya itu jauh dari kenyataan. Kita berjuang untuk ukuran kelas yang memadai, kita memperjuangkan pelayanan untuk siswa. Saya mengajar di sebuah sekolah dengan ribuan siswa dan di sana kita bahkan tidak punya satu orang pekerja sosial pun untuk [mendukung wellbeing] siswa. Jadi kita memperhuangkan pendidikan yang layak untuk siswa kita di Chicago. Kita melawan reformasi yang kalau diterapkan di kelas, tidak akan berjalan.  (Phil Cantor, Guru North Grand High School)
 Kejadian di Chicago mengingatkan saya akan obrolan saya dengan beberapa orang guru. Beberapa kali saya berbincang-bincang dengan guru yang menganggap seorang guru tidak patut berdemonstrasi ataupun melakukan boikot. Kalaupun guru mau menyampaikan aspirasi, hal tersebut bisa dilakukan dengan cara lain misalnya menulis ke media. Meskipun saya setuju bahwa ada banyak cara untuk menyampaikan aspirasi, salah satunya adalah dengan menulis, saya juga paham bahwa cara seperti itu tidak selalu cukup. Seringkali para pembuat kebijakan tidak mau mendengar. Berbagai cara lain harus dilakukan agar suara guru bisa terdengar. Dalam beberapa kasus tertentu melakukan boikot atau demonstrasi adalah cara yang perlu ditempuh. Meskipun begitu, menurut saya ketika guru memilih untuk melakukan boikot/demonstrasi sebaiknya guru benar-benar memahami isu yang disuarakan, bukan sekadar ikut-ikutan. Seorang guru yang ikut boikot di Chicago, misalnya menuliskan alasannya di blog. Ketika guru sudah bisa melakukan ini artinya dia punya sebuah alasan kuat, setidaknya bagi dirinya sendiri mengenai mengapa dia ikut melakukan boikot/demonstrasi. 

Diane Ravitch, Reasearch Professor Bidang Pendidikan dari New York University menanggapi aksi boikot yang dilakukan guru-guru di Chicago. Dia percaya bahwa dalam konteks di sana, boikot perlu dilakukan. Dalam blognya dia menulis :


I’m hoping that something good comes of the strike – not just for teachers and kids but in our national conversation about education (or lack thereof). We need people, lots of them, to start talking about, voting for, and demanding that, as a nation, we commit ourselves (in word and deed) to a system of free, just, and forward minded public education – not testing, privatization schemes, or crazy accountability schemes that take the focus off of what really matters. We need real education – context specific, developmentally appropriate, child focused, forward thinking teaching and learning in every corner of this country that is full of professional educators, rich curriculum, and even richer experiences, community engagement, and family participation. If anyone thinks this strike is just another union “ploy” for higher pay or less “working time” they are sorely mistaken. And while workers should be entitled to protect their rights, the CPS strike is about the heart and soul of public schooling, the deprofessionalization of teachers, and the ways that the education “crisis” nation wide has been co-opted as a means of pushing privatization as the be-all-and-end-all solution to the “achievement gap”. Schools are not businesses, children are not widgets, and teachers are not robots or machines. Let’s start there. (Diane Ravitch) 
 Saya berharap bahwa boikot ini membawa kebaikan - bukan hanya untuk guru atau siswa tetapi membuka dialog nasional mengenai pendidikan (yang sangat kurang). Kita butuh banyak sekali orang untuk mulai membicarakan, memilih, dan menuntut bahwa, kita berkomitment (baik dalam kata-kata maupun perbuatan) untuk mendukung sistem yang adil dan pendidikan publik yang visioner dan terjadi pembelajaran di setiap sudut negara ini dengan dukungan pendidik yang profesional, kurikulum yang kaya, termasuk juga pengalaman yang kaya, keterlibatan komunitas, dan keluarga dalam pendidikan. Kalau ada yang mengira boikot ini hanya tuntutan organisasi guru untuk bayaran yang lebih tinggi dan jam kerja yang lebih pendek, hal tersebut salah besar. Meskipun pekerja perlu didukung haknya, boikot CPS adalah tentang inti dan jiwa dari sekolah publik, [penentangan terhadap] deprofesionalisasi guru, dan bagaimana krisis pendidikan terjadi secara nasional, dimanfaatkan untuk kepentingan privatisasi seakan-akan itu bisa menyelesaikan masalah kesenjangan pencapaian (achievement gap). Sekolah bukanlah bisnis, anak-anak bukanlah semacam gadget,  dan guru bukanlah robot atau mesin. (Diane Ravitch)

Dalam banyak hal, saya sependapat dengan pandangan Diane Ravitch di atas. Saya percaya bahwa dalam konteks tertentu aksi seperti boikot atau demonstrasi penting untuk memperjuangkan hal-hal yang esensial dalam pendidikan, setidaknya memancing semakin banyak orang untuk membicarakan dan mendorong perbaikan pendidikan. Tidak ada salahnya guru melakukan boikot/demonstrasi khususnya kalau aksi tersebut didasari oleh rasa cinta seorang guru terhadap pendidikan, pembelajaran, dan siswanya.  

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Memahami Pembelajaran Terintegrasi (Bagian 1) : Definisi & Manfaat Pembelajaran Terintegrasi

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)