Ketika Bapak Memilih untuk Tidak Marah

Kayaknya kedua orang tua saya jantungan sekali saat saya dan adik saya (yang  usianya hanya satu tahun lebih muda dari saya) menginjak SMP dan SMA. Kami berdua, sekolahnya gak ada yang benar. Ketika SMP, nilai rapor kami dipenuhi angka-angka berwarna merah, jumlahnya bisa 4 sampai 5 angka merah. Nilainya 5 atau 4. Di rapor! Kalau sampai caturwulan  (waktu itu belum sistem semester) terakhir, nilai kami masih begitu, dipastikan kami harus tinggal kelas. Saya termasuk yang beruntung. Caturwulan terakhir, merah saya tinggal dua. Hal ini berarti saya bisa naik kelas, tapi tidak begitu dengan adik saya.

Saya lupa berapa nilai-nilai adik saya, yang jelas sesampai di rumah saya temukan adik saya yang waktu itu kelas 1 SMP menangis tersedu-sedu di kamarnya. Dia tidak naik kelas.

Bapak saya, sebenarnya galak juga. Kalau kami tidak bisa matematika misalnya, bukannya dibimbing, kami malah akan dimarahi. Bapak saya termasuk orang yang menganggap matematika adalah pelajaran paling penting sedunia.

Setelah saya dan adik saya kini dewasa, bapak saya sempat bercerita tentang kasus tersebut. Kasus saat adik saya tidak naik kelas. "Dulu bapak mau marah. Kamu sih tidak belajar!" katanya,"Tapi mamamu menahan-nahan bapak supaya tidak marah. Salah satu teman dekat bapak, justru meminta bapak untuk berbicara baik-baik dengan adikmu. Jadi begitulah, bapak ajak adikmu berjalan-jalan sambil memberi nasihat. Orang yang sukses itu justru bukan orang yang tidak pernah gagal tapi orang yang setelah gagal bisa bangkit lagi."

Adik saya meneruskan hidupnya dengan baik. Dia jago sekali matematika. Di kemudian hari nilai matematikanya hampir selalu 10 meskipun pelajaran lain seperti ekonomi bisa 4. Ketika S1 sempat mendapatkan tawaran beasiswa di luar negeri. Dia juga lulus kuliah paling cepat diantara teman-teman seangkatannya (katanya tidak suka sekolah, jadi ngapai kuliah lama-lama?).

Karena pengalaman-pengalamannya yang tidak menyenangkan di sekolah dia juga sempat suka sekali membaca-baca buku bertema unschooling dan deschooling. Pokoknya anti sekolah deh! Sekarang kebenciannya terhadap sekolah sudah berkurang. Dia akhirnya sempat melanjutkan S2 di bidang enterpreneurship.

Ketertarikannya untuk belajar tidak pernah berkurang, semangat hidupnya juga. Dia selalu ingin belajar hal baru, melihat hal baru, mencoba hal baru. Ntah apa yang terjadi kalau dulu bapak saya malah memarahinya habis-habisan ketika tidak naik kelas. Mungkin akan lain ceritanya. Saya bersyukur sekali, setidaknya kedua orang tua saya, adik saya kesempatan untuk belajar dari kesalahan. Berbuat salah tidaklah apa-apa asalkan kami mau bangkit dan belajar menjadi lebih baik lagi.

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Memahami Pembelajaran Terintegrasi (Bagian 1) : Definisi & Manfaat Pembelajaran Terintegrasi

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah