Perjalanan Ke Surabaya Yang Menakjubkan (Bagian 3) : Sharing di KNGB tentang "Ketika Guru Mengaku Tak Lebih Tahu"



Tulisan ini adalah lanjutan dari posting "Perjalanan ke Surabaya yang Menakjubkan (Bagian 2) : Sharing di KNGB tentang "Setiap Siswa Punya Cerita"

Saya melanjutkan presentasi saya di KNGB 2013 dengan menceritakan sebuah pengalaman menarik ketika saya menjadi asisten trainer-nya Ibu Aulia Wijiasih untuk pelatihan Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kuala Kapuas, bersama Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kalimantan Tengah.

Salah satu sesi, kami membahas tentang berbagai kegiatan ekonomi yang ada di dalam hutan. Peserta diminta membuat daftar berbagai kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi yang terjadi di dalam hutan. Salah satu kelompok mendiskusikan tentang produksi kapal. Kurang lebih begini diskusinya (saya agak lupa detilnya).

 "Kapal dibuat di dalam hutan," kata seorang peserta, "Jadi salah satu kegiatan produksi yang terjadi di dalam hutan adalah pembuatan kapal."

Saya ikut mendengarkan diskusi tersebut lalu mencoba menanggapi, "Oh yah? Kapal dibuat di hutan? Kok bisa."

"Ya memang iya," kata seorang peserta,"Kapal yang dari kayu."

"Oh, bukankah kayunya diambil lalu dijadikan kapal di kota?" tanya saya.

"Bukan lah! Kayu diambil dari dalam hutan, lalu dijadikan kapal. Setelah jadi, kapal langsung dialirkan melalui sungai. Jadi lebih mudah distribusinya," kata peserta.

Karena saya berasal dari kota dan hanya bersentuhan dengan hutan ketika sedang berlibur (itupun jarang-jarang) pengetahuan saya tentang hutan memang lebih terbatas dibandingkan beberapa peserta yang memang tinggal tak jauh dari hutan, atau kenal orang-orang yang bekerja di hutan. Saya mengakui hal ini kepada peserta dan berkata, "Wah menarik yah! Saya baru tahu kalau kapal dibuat di hutan. Saya pikir kayunya dibawa ke luar dan baru dibuat di luar hutan kapalnya."

Peserta tampak berbinar-binar ketika tahu bahwa saya, yang saat itu menajdi fasilitator, tak lebih tahu daripada mereka. Ternyata bukan hanya itu, ada juga perasaan bangga karena mereka punya pengetahuan yang tidak diketahui oleh saya, selaku fasilitator. Saat mereka harus mempresentasikan hasil diskusi mereka kepada peserta yang lain, seseorang berkata, "Kalau di Kalimantan, salah satu kegiatan produksi yang dilakukan di dalam hutan adalah membuat kapal. Ternyata, Mbak Puti belum pernah dengar kalau kapal dibuat di hutan. Tapi memang begitu. Kapal dibuat di hutan lalu setelah jadi, kapalnya didistribusikan melalui sungai."

Saya ingat, ada rasa bangga ketika mengatakan, "Ternyata Mbak Puti belum pernah dengar..."

Kadang siswa, di sekolah juga, punya banyak pengetahuan-pengetahuan yang berharga tapi karena lingkungan sekitar, juga guru, tak menganggapnya berharga, mereka juga ikut-ikut merasa bahwa pengetahuan mereka tidak berharga.

Ada cerita lain, yakni ketika saya mengajar sekelompok ibu-ibu mengenai energi. Ketimbang mulai dari teori-teori tentang energi, dari mana asalnya, sistem konversi energi, dan sebagainya. Saya mengajak mereka mendiskusika berbagai cara mereka menghemat energi. Bukannya teori tidak boleh disampaikan, tapi dengan mengajak mereka berdiskusi dari hal-hal yang dekat dengan mereka, mereka bisa lebih berelasi terhadap topik yang dibahas. Setelah itu pembahasan boleh mulai menjadi lebih mendalam. Mereka bisa diajak mengenal asal-usul energi yangada di rumah mereka dan seterusnya. Setelah ibu-ibu berbagi tentang cara mereka menghemat energi saya berkata,"Wah ibu banyak tahu tentang cara-cara menghemat energi. Beberapa contoh yang ibu sebutkan, sebenarnya juga ada di buku-buku. Anak sekolah saja belum tentu tahu."

Seorang ibu menatap saya dengan mata berbinar-binar, "Oh ya?"

Ibu tersebut belum lulus SMP. Saya bisa melihat matanya yang senang karena ternyata apa yang diketahuinya dianggap berharga.

Walaupun idealnya hubungan siswa dan guru seharusnya demokratis, kenyataannya tidak selalu begitu. Seringkali siswa merasa posisinya tak setara dengan guru. Guru lebih tahu, guru lebih paham. Seringkali juga, guru berada dalam posisi lebih dibandingkan siswa, lebih tahu, lebih punya kuasa. Meskipun begitu, sesungguhnya tak ada salahnya guru mau berendah hati. Ada banyak hal yang mungkin lebih diketahui oleh siswa sehingga tak ada salahnya guru mengakui bahwa dia tidak tahu. Apakah di dalam kelas ada waktu bagi guru untuk mengeksplorasi apa yang siswa ketahui. Lalu, melalui diskusi, apa yang siswa ketahui bisa dihubungkan dengan apa yang siswa lain ketahui, juga apa yang guru ketahui sehingga bersama-sama, semua belajar membentuk pengetahuan yang baru sama sekali. Pengetahuan yang hanya terbentuk ketika dialog terjadi. Antara siswa dan siswa, guru dan siswa, juga antara siswa dan guru. Dialog seperti ini hanya bisa terjadi ketika guru mau mengakui bahwa kadang-kadang, atau bahkan sering, dia tidak selalu menjadi yang paling 'tahu'.

Saya menutup cerita ini dengan sebuah pernyataan. Beginilah pernyataanya :

"Siswa tak selalu menyadari bahwa pengetahuan mereka penting, tugas pendidiklah untuk membuat mereka sadar bahwa apa yang mereka ketahui berharga. Melalui dialog, pengetahuan mereka akan berkembang sehingga memiliki nilai tambah, serta menjadi sesuatu yang lebih bermakna"

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Memahami Pembelajaran Terintegrasi (Bagian 1) : Definisi & Manfaat Pembelajaran Terintegrasi

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)