Mengajarkan Isu Kontroversial Di Dalam Kelas? Boleh tapi ....

Belakangan ini, ada banyak pembahasan mengenai kejadian 1965. Isu mengenai kejadian 1965 merupakan salah satu isu yang kontroversial.

Stradling (1985) mendefinisikan isu yang kontroversial sebagai berikut : 
"those issues on which our society is clearly divided and significant groups within society advocate conflicting explanations or solutions based on alternative values" 
yang berarti :  
 "Isu-isu yang ketika dibahas di masyarakat jelas menimbulkan perbedaan pendapat yang sangat jauh. Kelompok yang berbeda di masyarakat memiliki opini yang sangat bertentangan satu sama lain ataupun solusi didasari pada nilai yang sangat berbeda."

Selain kejadian tahun 1965, ada banyak isu kontroversial lainnya, misalnya mengenai hukuman mati, dan sebagainya.

Apakah sekolah perlu mengajak siswa belajar mengenai isu-isu yang kontroversial? Ada yang mengatakan perlu dan ada yang mengatakan tidak. Saya termasuk yang mendukung sekolah dalam mengajarkan siswa mengenai isu-isu yang kontroversial, tapi pengajaran ini perlu dilakukan dengan hati-hati. 

Belajar mengenai isu-isu yang kontroversial memungkin siswa untuk:
"Belajar mengekspresikan opini dan belajar terbiasa bahwa ada kemungkinan bahwa opininya ditantang oleh orang lain [yang memiliki perbedaan pandangan terhadap isu yang terkait]. Dengan belajar mengenai isu-isu yang kontroversial siswa  juga belajar untuk menyampaikan pendapat dengan cara yang baik [meskipun opininya bertentangan dengan pihak lain], dan belajar untuk menerima perbedaan. (Amnesty International, 2011

Ketika mengajarkan mengenai isu-isu kontroversial di sekolah, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh guru, diantaranya mengenai usia siswa (dan perkembangannya) dan perlunya berhati-hati terhadap kekuasaan (power) yang dimiliki guru.   


Ketika merancang kegiatan belajar mengajar mengenai  isu yang kontroversial, guru harus ingat bahwa ada isu-isu tersebut akan berhubungan dengan hal-hal yang belum tentu siap diterima siswa. Isu-isu mengenai kekerasan, apabila tidak disampaikan dengan tepat bisa menimbulkan trauma pada anak. Saya ingat, beberapa tahun yang lalu, saya menonton pertunjukkan papermoon puppet tentang orang-orang yang tiba-tiba hilang setelah kejadian 1965. Menurut saya, pertunjukkan tersebut digambarkan dengan sangat indah dan tidak terlihat sadis, meskipun menyedihkan. Kekerasan di dalam pertunjukkan tersebut tidak disampaikan secara eksplisit. Meskipun begitu, penonton  harus sudah berusia 17 tahun ke atas. Anak-anak di bawah 17 tahun tidak dianggap siap untuk menonton pertunjukkan tersebut. Ketika mengajarkan isu-isu yang kontroversial, guru pun harus memiliki pertimbangan-pertimbangan semacam itu. Apakah kegiatan pembelajaran mengenai isu ini bisa menimbulkan trauma? Apakah ada hal-hal yang belum siap diterima siswa?
Salah satu pertunjukkan Papermoon Puppet Theatre
Sumber : http://www.papermoonpuppet.com/search/label/about
Di Jakarta Post, 1 Oktober 2017, ada berita yang menunjukkan bahwa siswa Sekolah Dasar (SD) belajar mengenai kejadian 1965 melalui drama. Siswa diajak memerankan Di berita tersebut, ada foto di mana siswa memegang pistol dan mengarahkannya kepada orang lain. Menurut guru di sekolah tersebut, drama tersebut bertujuan untuk mengenalkan sejarah pada siswa SD. Katanya:
“We can understand Pak Muhadjir’s suggestion, which may come from his concern that the movie is not suitable for children. We must find another way to teach our students about what happened in 1965. That’s why we asked our students to act in a drama, which portrays the death of Ade Irma Suryani Nasution, who was still five years old that year.” 

Yang berarti :
Meskipun drama tersebut mengenai kematian siswa berusia lima tahun, bukan berarti bahwa drama tersebut cocok untuk siswa SD.  Drama semacam itu bisa dipertontonkan kepada siswa seusia Sekolah Menengah Atas (SMA) tapi  belum layak  dilihat (apalagi diperankan) oleh siswa SD.
"Kami bisa memahami usulan Pak Muhadjir, bahwa  film [G30SPKI] tidak cocok untuk anak-anak. Kita harus mencari cara lain untuk mengajarkan siswa kita tentang apa yang terjadi di tahun 1965. Itulah sebabnya kita meminta siswa kita memerankan drama, yang memerankan kematian Ade Irma Suryani Nasution, yang berusia lima tahun waktu itu."



Guru juga perlu sadar bahwa guru punya kekuasaan tertentu (power) yang tidak dimiliki siswa. Baik dengan sadar atau tidak, kekuasaan ini bisa digunakan untuk mengiring opini siswa bahwa opini terbaik mengenai isu kontroversial tersebut adalah opini guru. Memilih untuk belajar mengenai isu-isu kontroversial berarti bahwa guru harus siap untuk ditantang opininya oleh siswa. Guru hanya perlu memfasilitasi siswa agar bisa menyampaikan argumen dengan lebih baik, misalnya dengan mengajak siswa melengkapi argumentasinya dengan data. 

Sebenarnya, ada begitu banyak hal lain yang perlu jadi pertimbangan ketika guru ingin mengajarkan isu-isu kontroversial di dalam kelas. Tidak semuanya saya bahas dalam tulisan ini karena tidak semuanya saya kuasai. Setidaknya melalui tulisan ini, saya ingin mengajak teman-teman guru untuk belajar lagi mengenai caranya mengajarkan isu-isu kontroversial di dalam kelas. Ada banyak jurnal, artikel, maupun buku tentang caranya mengajarkan isu-isu kontroversial di dalam kelas. Kita hanya perlu sedikit ketekunan untuk mempelajarinya.

Keterangan:
Contoh artikel tentang mengajarkan isu yang kontroversial di dalam kelas:

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Memahami Pembelajaran Terintegrasi (Bagian 1) : Definisi & Manfaat Pembelajaran Terintegrasi

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)